Klenteng Gondomanan

KLENTENG GONDOMANAN
Salah satu peninggalan kebuadayaan etnis Tionghoa di yogyakarta adalah Klenteng Gondomanan yang bernama Klenteng Bhudda Prabha. Berlokasi di daerah Gondomanan tepatnya Jalan Brigjend. Katamso Nomor 3, Kota Yogyakarta merupakan bangunan yang memilki nilai sejarah dan spiritual yang  penting bagi  perkembangan budaya Tionghoa di Yogyakarta.
Berdasarkan fakta sejarahnya, Klenteng Bhudda Prabha  yang bernama asli Hok Tik Bio dulunya adalah klenteng yang didirikan di atas tanah seluas 1150 m2 hibah Kraton Kesultanan Yogyakarta  pada tanggal 15 Agustus 1900 masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII. Bangunan ini terdaftar sebagai warisan budaya dan Heritage tanggal 26 Maret 2007 dibawah Surat Perintah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. PM.25/PW.007/MKP/2007.
TAHUN 1907, atas usaha seorang bekas Mayor Tionghoa, Yap Ping Liem, di Yogyakarta dibangun Klenteng Gondomanan. Ini cerita lama. Lalu sekitar 4 tahun kemudian, oleh NV Kwik Hoo Tong dibangun pula klenteng Poncowinatan. Tampaknya kedua tempat ibadat itu punya ciri berbeda. Klenteng Gondomanan lebih disibuki para pengunjung yang bermaksud cari berkah dan kemakmuran. Sedang klenteng Poncowinatan buat mereka yang mencari keadilan. Tentu cuma yang bersangkutan yang mafhum persis apa arti masing-masing. Sampai sekitar 1940-an, kedua klenteng tersebut tetap terpelihara dan lumayan ramai. Tapi sesudah itu perkembangan mulai suram. Para perintis yang sudah tua banyak yang meninggal, sedang keturunan yang muda-muda tak banyak yang berminat mewarisi. Beberapa waktu sesudah peristiwa G30S Walikota Yogyakarta waktu itu Soedjono AY, memperingatkan seorang Tionghoa kaya Tirto Winoto, akan keterlantaran itu. "Kalau tetap diterlantarkan, Pemda Yogya akan menambil alih kedua klenteng itu", begitu Soedjono. Maka berdirilah yayasan yang diketuai Anwar Santoso alias Kan Ging An. Yayasan tersebut menurut Karyono Cokrosudarmo, sekretaris ad interim, bertujuan "mengembangkan ajaran Kong Hu Cu dan Buddha dengan tak melupakan Taoisme". Yayasan yang resminya berdiri Oktober 1974 itu sesuai dengan tujuannya membentuk 3 seksi: Buddha dengan nama Cetya Buddha Praba (Sinar Sang Buddha), Tao Pek Kong, dan Gerbang Kebajikan (Kong Hu Cu). Kesemuanya boleh mengadakan kegiatan di kedua klenteng. Maka sejak itu ramailah kedua tempat tadi. Terutama klenteng Gondomanan. Tapi di antara 3 seksi tersebut, yang tampak menonjol ialah kegiatan kaum Buddha. Sedang seksi Tao Pek Kong dan Kong Hu Cu tampaknya kurang sekali menggunakan itu klenteng. Padahal kaum Buddha tersebut cuma menggunakan bagian belakang klenteng Gondomanan. Namun demikian ternyata tak menggirangkan hati pengurus yayasan. Sebab, menurut Karyono Cokrosudarmo, Cetya Buddha Praba mulai menjurus ke sifat menyendiri: melulu beranggotakan orang Tionghoa suku Gek Lang yang sebagian besar WNA. Dalam persembahyangan, mereka menggunakan bahasa Gek, yang menurut Cokrosudarmo, "harus dijauhi". Entah kenapa. Menurut Cokrosudarmo lagi, "kelihatannya mereka merasa khawatir diserbu penganut Buddha asli (orang Indonesia dan Tionghoa WNI). Betulkah begitu? Romo S. Soedjas dari pengurus Cetya Buddha Praba angkat bicara. "Soal bahasa", katanya, "untuk penganut Buddha Mahayana seperti di Yogyakarta dalam sembahyang dibagi 2: Cetyamuni (klenteng) menggunakan bahasa Tionghoa, dan Buddhayana menggunakan bahasa Pali". "Bahasa Tionghoa digunakan untuk wanita-wanita Tionghoa yang sudah tua yang buta huruf Indonesia", tutur Condro Purnomo alias Tjan Yen Tjong, ketua seksi Buddha. Tapi Cokrosudarmo masih melihat keanehan pada kegiatan itu Seksi Buddha, yang dijulukinya "komersialisasi jabatan". "Di luar tahu Yayasan, Cetya Buddha Praba mendatangkan ahli bikin peti-peti uang dan rumah-rumahan untuk dibakar. Ini urusan Tao Pek Kong", tutur Cokro. Sebab, katanya, "Cetya Buddha Praba tak percaya pada 'kehidupan atas' "Menurut Cokro, itu bukan tanpa tujuan - komersiil tentu saja. Dan Cokro menyodorkan bukti. Satu peti bermodal sekitar Rp 1.200. Tapi yang bersangkutan (yang mau sembahyangan) harus mengorek koceknya Rp 3.000 - 4.000 per orang. Sedang menurut perkiraannya tak kurang 180 peti dibikin di tahun yang baru saja berakhir. Sekitar 200.000 uang sisa yang tak jelas ke mana larinya. Lagipula menurut Cokro, tak pernah dilaporkan kepada yayasan. Betul begitu? "Uang yang masuk hampir seluruhnya dari pengikut Buddha. Kebetulan bendahara Cetya Buddha Praba adalah juga bendahara Yayasan Klenteng. Jadi tak perlu diserahkan kepada orang lain. Dan ada perhitungannya", tutur Soedjas. Dan ia menyebut perbaikan klenteng dan menyambut tamu dari Singapura (bukan seorang Buddhis), sebagai kegiatan yang menuntut Pengeluaran uang. Bagaimana tanggapan Tirto Winoto, itu sesepuh Yayasan Klenteng yang sosiawan'? "Kericuhan antar anggota pengurus yayasan sudah lama ada", tuturnya. Menurut Tirto, setelah klenteng dibikin bagus banyak orang yang ingin jadi ketua. Dan kalau uang masuk dia yang pegang. "Ini bagaimana?" Nyumbang saja tidak mau", keluh Tirto yang juga penasihat yayasan. Hingga tak aneh Setyo Subagyo, wakil ketua yayasan dan Tjong Tik Ing, sekretaris, mengundurkan diri karena tak tahan. Tapi Anwar Santoso tetap bertahan sebagai ketua. Sebab ia berpendirian: "yayasan hanya merawat klenteng supaya iba..ah terjamin, dan klenteng yang kuno nampak menarik".

LOKASI
Klenteng Gondomanan ini terletak di jalan Brigjen Katamso, no.3

AKSES
Setiapkali berkunjung ke Jogja. Seringkali kita berkunjung ke Malioboro, Alun-alun utara dan Parantritis. Nah setelah bosan berkeliling di Alun-alun utara maka sempatkan diri anda ke timur tepat dari alun2 utara. tepatnya di jalan Brigjen Katamso, no.3. Atau lebih efektifnya, gunakan alat transportasi trans jogja dan turun di jalan Brigjend katamso. dari transjogja pemberhentian itu, jalan lah 200m ke utara. tepatnya sebelah kanan jalan anda kan melihat bangunan merah penuh dengan budaya China. maka tak slah. disitulah tempatnya.




HARGA
seperti yang telah banyak diketahui. Anda tidak dikenakan biaya rtiket masuk. Bagi pengunjung etnis tionghoa atau yang beragama Budha, Anda bisa menjalani doa dan mengikuti sejumlah kegiatan keagamaan. Atau cuma sekedar menikmati keindahan arsitekturnya.

AKOMODASI DAN FASILITAS

Tak berbeda  dengan Kelenteng Poncowinatan. Hanya saja disini tersedia sovenir dan pernak pernik yang dapat dibuat oleh2 para pengunjung.